Chapter 196: – Lidah Api di Balik Nama - The Shattered Light - NovelsTime

The Shattered Light

Chapter 196: – Lidah Api di Balik Nama

Author: Epsloyn
updatedAt: 2025-08-17

CHAPTER 196: – LIDAH API DI BALIK NAMA

Suasana di alun-alun kota Veradya pagi itu tidak seperti biasanya. Penduduk berkerumun, wajah-wajah mereka cemas, bingung, sebagian besar dipenuhi bisik-bisik.

Kaelen berdiri di atas panggung kecil dari kayu. Di sisinya, Lyra dan Alden menatap kerumunan dengan ketegangan yang tak bisa disembunyikan.

Di belakang mereka, bendera Pasukan Pembebasan dikibarkan setengah tiang. Bukan karena kematian seseorang, tapi karena sesuatu yang lebih rumit: kehilangan kepercayaan.

"Dia terlambat," bisik Alden.

“Dia berpikir terlalu lama, bukan terlambat,” jawab Lyra.

Kaelen menatap ke depan, lalu mengambil langkah maju. Suaranya jelas dan tenang.

"Aku tahu... kalian semua mendengar desas-desus. Tentang seseorang dari Ordo yang masih hidup. Tentang bagaimana perang ini tidak membebaskan kalian, melainkan mengganti satu penindas dengan yang lain."

Kerumunan bergeming. Suara-suara mulai menggeliat seperti ular bangun dari tidur panjang.

"Aku tidak akan berdiri di sini dan bilang semuanya sempurna. Tidak. Kami salah. Aku salah."

Beberapa orang mulai menoleh ke sesamanya, tak yakin apakah ini bagian dari pidato atau pengakuan.

Kaelen melanjutkan.

"Serina, Lyra, Varrok... banyak orang telah mati dalam perang ini. Bukan hanya karena musuh, tapi karena aku—yang memimpin dan memilih jalur kekerasan saat diplomasi belum sepenuhnya mati. Aku tidak akan meminta kalian melupakan itu. Tapi aku meminta kalian mengingat satu hal: kita memilih jalan ini bersama."

Tepat ketika suasana mulai tenang, seorang lelaki berteriak dari barisan belakang.

“Lalu kenapa kau biarkan Thalos hidup?!”

Seisi alun-alun sontak gaduh.

Kaelen mematung sejenak.

Alden bergerak maju, tapi Kaelen mengangkat tangan, menghentikannya.

Pria itu maju. Wajahnya penuh luka bekas perang. Di pundaknya tergantung lencana pasukan barisan depan.

“Aku kehilangan dua adik di Benteng Vandra karena Thalos. Dan kau biarkan dia bicara, menyebar api lagi? Itu bukan keadilan. Itu pengecut.”

Kaelen menatapnya dalam diam. Lalu berkata pelan, “Kalau aku membunuh dia di depan kalian, apakah itu akan membuatmu merasa keadilan sudah ditegakkan?”

Lelaki itu ragu. “Setidaknya... itu akan menunjukkan bahwa kau bukan berpihak padanya.”

“Aku tidak berpihak padanya,” jawab Kaelen. “Tapi aku tidak bisa lagi memerintah dengan pedang. Kita tidak butuh pahlawan yang membakar musuh di tengah kerumunan. Kita butuh pemimpin yang bisa menahan diri, bahkan saat seluruh tubuhnya meminta untuk membalas.”

Tapi kemarahan sudah telanjur tumbuh. Beberapa mulai berteriak. Lalu sebuah botol dilempar, pecah di dekat panggung.

Lyra mencabut belatinya, bukan untuk menyerang, tapi untuk bersiaga. “Kaelen... kita harus turun.”

Tiba-tiba, dari arah gang sempit, teriakan terdengar: “Api di barat! Gudang logistik dibakar!”

Kaelen dan Alden langsung bergerak.

“Bukan kebetulan,” kata Alden di sela langkah cepat mereka. “Thalos menyalakan banyak api dalam waktu singkat.”

“Tapi bukan dengan tangan sendiri,” jawab Kaelen. “Dia punya orang di antara kita.”

Gudang logistik terbakar hebat. Api menjilat langit, membuat langit sore seakan berubah jadi bara. Kaelen dan pasukannya berusaha memadamkan api, tapi pasokan air terbatas.

Di sela kekacauan, Lyra menemukan secarik kain bertuliskan pesan.

“Dari abu lama, akan bangkit tatanan baru.”

Dia memberikannya pada Kaelen.

“Dia tak hanya memprovokasi. Dia menyusup.”

Malamnya, ruang dewan militer terasa tegang. Kaelen, Lyra, Alden, dan beberapa kepala regu duduk mengelilingi meja bundar.

“Ada laporan bahwa pasukan cadangan di sektor utara menolak perintah,” kata Alden. “Mereka bilang... tidak percaya siapa pun yang ‘membiarkan musuh hidup demi moral.’”

“Ini menyebar terlalu cepat,” ujar salah satu kepala regu.

Kaelen menyandarkan punggung ke kursi. "Karena ini bukan sekadar kabar. Ini keyakinan. Dan keyakinan menyebar seperti api jika kita tidak segera kendalikan."

“Lalu apa rencanamu?” tanya Lyra lembut.

Kaelen memejamkan mata sejenak. “Aku akan ke utara. Bicara langsung. Mereka harus tahu bahwa ini bukan tentang Thalos. Ini tentang apakah kita masih percaya pada satu sama lain.”

“Sendiri?” Alden nyaris membentak. “Kau bisa dibunuh sebelum sempat bicara!”

“Aku harus ambil risiko. Kalau aku mati, biarlah aku mati membawa satu pesan sederhana: bahwa perang ini tak bisa dimenangkan dengan curiga dan kebencian.”

Hening.

Lalu Lyra berdiri. “Kalau kau pergi, aku ikut.”

Kaelen menatapnya. “Kau tidak harus—”

“Aku tahu.”

Malam itu, sebelum berangkat, Kaelen duduk di ujung kamp, menatap langit berbintang. Di tangannya, secarik kertas usang—sketsa wajah Serina, yang dulu pernah digambarnya saat iseng.

Ia menatapnya lama. Mencoba mengingat tawa yang kini hanya gema samar.

Lalu ia membakar kertas itu.

Bukan karena ingin melupakan.

Tapi karena ia tahu, kadang untuk melangkah ke depan, kita harus merelakan satu bagian dari masa lalu... agar yang lain bisa tetap hidup dalam kenangan yang benar.

Novel