Chapter 197: – Bara di Dalam Dada - The Shattered Light - NovelsTime

The Shattered Light

Chapter 197: – Bara di Dalam Dada

Author: Epsloyn
updatedAt: 2025-08-17

CHAPTER 197: – BARA DI DALAM DADA

Langit masih kelabu saat Kaelen dan Lyra memasuki kamp sektor utara. Tak ada sambutan. Tak ada penjaga di gerbang. Hanya tatapan dingin dari puluhan mata yang bersembunyi di balik tenda dan bayang-bayang.

Aroma tanah basah bercampur asap tipis memenuhi udara.

Alden, yang semula bersikeras ikut namun akhirnya tertinggal karena serangan mendadak di markas pusat, hanya sempat berpesan satu hal lewat utusan: "Jika mereka membungkammu, biarkan keheninganmu lebih lantang dari pidatomu."

Kaelen turun dari kudanya perlahan. Ia tak memakai baju zirah lengkap, hanya mantel gelap dan pedang pendek di punggungnya. Sinyal bahwa ia datang bukan sebagai komandan perang... melainkan sebagai seseorang yang ingin didengar, bukan ditakuti.

Lyra berdiri di sampingnya, pandangan tajamnya menyapu kamp.

“Tak ada hormat. Tak ada aba-aba. Mereka siap bertarung atau kabur. Tak ada di antara,” bisiknya.

Kaelen menjawab lirih. “Yang paling mematikan bukan yang menggenggam senjata... tapi yang memelihara dendam dan diam.”

Mereka terus berjalan. Di tengah kamp, akhirnya muncul seorang pria bertubuh kekar dengan janggut yang tak terurus. Ia berdiri tegak, tapi matanya merah, jelas kurang tidur—atau terlalu banyak kehilangan.

“Kaelen.”

Kaelen berhenti. “Aris. Lama tak bertemu.”

“Harusnya kau tetap tidak muncul.”

“Kalau aku tidak muncul, kalian akan percaya pada kabar yang kalian belum dengar dari mulutku sendiri.”

Aris menyeringai sinis. “Kami tidak butuh klarifikasi. Kami butuh pemimpin yang tahu kapan harus menyelesaikan musuh, bukan mengampuni.”

Beberapa prajurit mulai berkumpul. Ada yang melipat tangan di dada. Ada yang mencengkeram gagang pedang.

Lyra tetap diam, tapi tangan kirinya sudah menyentuh gagang belati di balik mantel.

“Aku datang ke sini bukan untuk membela Thalos,” ucap Kaelen keras, memotong kerumunan suara. “Aku datang untuk mengatakan bahwa dendam bisa membakar dunia yang sudah kita perjuangkan. Aku tidak ingin kalian ikut terbakar bersamaku.”

Aris tertawa pendek. “Lucu. Karena dunia ini sudah terbakar. Oleh kebijakanmu. Oleh belas kasihanmu.”

Kaelen mengangguk pelan. “Mungkin. Tapi mari aku tanya kau satu hal, Aris. Jika kau berdiri di tempatku saat Thalos jatuh tersungkur, tubuhnya penuh luka, nafasnya satu-satu... apakah kau yakin, sangat yakin, membunuhnya akan menyembuhkanmu?”

Hening.

“Sembuh?” Aris meludah ke tanah. “Aku tak minta sembuh. Aku minta harga. Balas. Setimpal.”

Seorang prajurit wanita, mungkin tak lebih tua dari dua puluh tahun, maju selangkah.

“Adikku mati di pembantaian Celurian,” katanya pelan. “Apa kau tahu itu, Kaelen? Thalos memerintahkan itu. Kalau aku yang ada di sana, aku tak akan ragu menusuk jantungnya. Kau terlalu lemah.”

Kaelen menatap matanya. Tak marah. Tak mundur.

“Aku mengerti.”

Suasana hening kembali. Lalu perlahan Kaelen menarik pedangnya.

Beberapa prajurit bergerak gugup.

Namun ia tak mengangkatnya. Ia menjatuhkan pedang itu ke tanah.

“Aku tidak akan minta maaf karena tidak membunuh Thalos. Tapi aku minta kalian menilai aku bukan dari satu keputusan, tapi dari seluruh jalanku.”

“Jalanmu sudah membuat banyak orang tersesat,” balas Aris.

“Mungkin. Tapi jika kau berpikir kau bisa memimpin dengan lebih baik, bunuh aku sekarang. Di depan pasukanmu. Lalu pimpin mereka dengan cara yang menurutmu benar.”

Kaelen membuka mantelnya, mengekspos dadanya yang tanpa pelindung.

Lyra bergerak cepat. “Kaelen, cukup—”

“Tidak,” potong Kaelen. “Jika aku harus membuktikan siapa aku dengan darah, maka biar aku lakukan sekarang.”

Aris menatapnya. Wajahnya seperti batu. Beberapa prajurit menahan napas.

Tak ada yang bergerak.

Beberapa detik yang terasa seperti tahun berlalu.

Lalu Aris mundur setapak. “Kau... bodoh.”

“Bisa jadi,” jawab Kaelen.

Aris mendengus. “Tapi aku takkan membunuh orang yang punya nyali mengaku salah di depan orang-orang yang ingin melihatnya jatuh.”

Kaelen menghela napas pelan. Lalu berkata, “Aku tak ingin kalian ikut terbakar karena aku. Tapi jika kalian tetap ingin berjalan di jalur ini, aku tidak akan memaksa.”

Seorang prajurit lain akhirnya bersuara. “Apa Thalos masih hidup?”

Kaelen mengangguk. “Di dalam sel. Dan dia tidak diberi hak bicara lagi. Tapi aku juga tidak akan membiarkan kebenciannya menjadi bahan bakar perang ini. Bukan lagi.”

Seiring malam turun, suasana perlahan melunak.

Beberapa prajurit mulai beranjak pergi. Ada yang masih murung, ada yang mengangguk pelan ke arah Kaelen—tanda bahwa setidaknya, sebagian dari mereka mau mendengar lagi.

Saat malam benar-benar sunyi dan angin menyusup di antara celah tenda, Kaelen duduk di luar dengan Lyra.

Ia memandangi api unggun kecil. “Aku lelah, Lyra.”

“Semua orang lelah. Tapi tidak semua orang berani mengakuinya.”

Ia menoleh padanya. “Kau masih percaya padaku?”

Lyra tak menjawab langsung. Lalu ia menjulurkan tangan dan menggenggam jemari Kaelen yang penuh bekas luka.

“Aku tidak percaya padamu karena kau selalu benar, Kaelen. Aku percaya padamu karena kau tahu saat kau salah... dan tetap berdiri meski seluruh dunia ingin kau jatuh.”

Kaelen tersenyum lemah.

Di kejauhan, suara malam perlahan kembali seperti biasa. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, bara di dalam dadanya terasa... sedikit lebih hangat dari biasanya.

Novel